Indonesia beberapa bulan lagi akan mengadakan hajatan pemilu. Partai-partai sudah membentuk koalisi yang mengusung putra-putra terbaik bangsa yang akan dijadikan presiden dan wakil presiden. Tercatat kini sudah terdapat tiga bakal calon presiden dan wakil presiden yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Prabowo-Gibran. Tentu kita sebagai pemilih yang cerdas perlu melihat kondisi dan situasi bagaimana sejarah proses pemilu di Indonesia.
Pemilu Pada Masa Orde Lama
Menurut KPU (Komisi Pemilihan Umum) di laman resminya, pemilu Indonesia pertama kali dilaksankan pada tahun 1955. Pada tahun tersebut pemilu dilakukan sebanyak dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR. Kedua, pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.
Pemilu tahun 1955 diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Walaupun pertama kali diselenggarakan, tercatat bahwa hajatan pemilu tersebut berhasil dilaksanakan dengan aman, lancar, jujur, adil dan sangat demokratis. Pemilu tahun tersebut diikuti lebih dari 30 partai politik dan lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan.
Terhitung parpol yang mengikuti perhelatan demokrasi tersebut lebih dari 30 partai. Kalau diklasifikasikan terdapat partai Nasionalis, Agamis dan Komunis. Partai yang berada di urutan kelima suara terbanyak ialah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Tentu partai tersebut dapat menguasai bangku di DPR dan anggota Konstituante. Pada pemilu di masa Orde Lama masyarakat hanya memilih partainya saja, sedangkan anggota DPR dan anggota Konstituante ditentukan oleh partai. Pemilu tersebut dikenal dengan sistem proporsional tertutup yang menerapkan pembagian kursi sesuai dengan pembagian jumlah suara.
Pemilu Pada Masa Orde Baru
Pada masa peralihan dari orde lama ke orde baru, partai politik yang mengikuti kontestasi pemilu jumlahnya berkurang menjadi 10. Pada perhelatan pemilu yang diadakan pertama kali di rezim Orde Baru terlihat siasat Soeharto untuk dapat memperoleh suara yang banyak.
Dilansir laman Tirto yang berjudul “Demokrasi Semu dalam Sejarah Pemilu Pertama Orde Baru 1971”, Golkar yang muncul sebagai partai baru di rezim Soeharto mampu memobilisasi seluruh elemen masyarakat hingga ke desa-desa untuk memilih partai pohon beringin. Hal itu terbukti dari keberpihakan para pejabat pemerintah untuk memilih satu partai yaitu partai Golkar. Maka, Pada pemilu tahun 1971 partai Golkar memperoleh suara paling banyak yakni sebesar 62,80%. Atas dasar tersebut menjadi alasan kalau partai Golkar dan presiden Soeharto dapat dengan mudah memenangkan pemilu tahun berikutnya.
Berlanjut pemilu tahun 1977 yang menjadi salah satu hal perbedaan signifikan pada pemilu tahun sebelumnya adalah adanya kebijakan Orde Baru yang menghendaki adanya fusi atau penggabungan partai-partai politik. Sebut saja, PPP (Partai Pembangunan Persatuan) hadir sebagai peleburan dari NU, Parmusi, PSII dan PERTI. PDI (Partai Demokrasi Indonesia) gabungan dari PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, PIPKI, PMRB. Sedangkan partai Golkar menjadi partai tunggal pada masa rezim Orde Baru. Hal itu sudah disiasati sejak pemilu 1971 yang telah menguasai lembaga eksekutif dan legislatif.
Berkat adanya pendukung Golkar dari birokrasi sipil dan militer membuat partai pohon beringin tersebut memiliki power di tingkat elit. Tentu membuat pegawai pemerintahan mengharuskan selalu memilih partai pohon beringin tersebut. Seperti, aparatur sipil negara yang harus menentukan suaranya untuk memilih partai Golkar kalau tidak mereka harus siap dimutasi ke pelosok atau bahkan sampai dipecat. Hal itu membuat partai pohon beringin menjadi kendaraan bagi rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan.
Terhitung sejak 1971 sampai 1997 atau selama berkuasanya rezim Orde Baru, pemilu selalu dimenangkan oleh partai Golkar. Partai pohon beringin tersebut menjadi kendaraan presiden Soeharto selama 32 tahun berkuasa.
Pemilu Pada Masa Reformasi
Masa reformasi merupakan perubahan revolusioner bagi sistem pemilu di Indonesia. Pasalnya, pada masa Orde Baru sangat membatasi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi di ranah politik, sedangkan di masa reformasi masyarakat antusias untuk meramaikan hajatan Pemilu. Tentu hal tersebut membuka keran lebar bagi demokrasi untuk dapat mendirikan partai politik. Terhitung peserta pemilu tahun 1998 berjumlah 48 partai politik, angka tersebut sangat banyak.
Selain mendirikan partai politik, terdapat perubahan sistem Pemilu di era reformasi. Buah dari beranjaknya ke sistem reformasi dengan ditandai pemisahan dwifungsi ABRI yang membawa perubahan demokrasi ke arah yang lebih baik. Kemudian,
Pada tahun 2004 masyarakat dapat secara langsung memilih DPR, DPRD, DPD serta Presiden dan Wakil Presiden. Hal tersebut berkat berubahnya sistem pemilu yang dilaksanakan. Meranjak pemilu tahun 2009, tedapat perbedaan dari ajang pemilu sebelumnya yakni dapat memilih secara langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebelumnya kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dipilih oleh DPR
Pada masa reformasi, pemerintah menguatkan lembaga-lembaga yudikatif yang berfungsi untuk mengawasi dan menjalankan tugasnya sebagai pemantau berjalannya alam demokrasi Indonesia. Selain itu, terdapat lembaga pengawas independen yang berasal dari masyarakat sipil untuk dapat mengawasi perkembangan politik serta pemilu di Indonesia. Hal tersebut dapat membuat sehatnya alam demokrasi di Indonesia. (Saka Tri Utama).